Thursday 10 May 2012

Psikologi Olahraga & Psikologi Latihan

Psikologi Olahraga & Psikologi Latihan

Monty P.Satiadarma | Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara Jakarta
Sekalipun Weinberg dan Gould (1995) memberikan pandangan yang hampir serupa atas psikologi olahraga dan psikologi latihan (exercise psychology), karena banyak kesamaan dalam pendekatannya, beberapa peneliti lain (Anshel, 1997; Seraganian, 1993; Willis & Campbell, 1992) secara lebih tegas membedakan psikologi olahraga dengan psikologi latihan. Weinberg dan Gould, (1995) mengemukakan bahwa psikologi olahraga dan psikologi latihan memiliki dua tujuan dasar:
mempelajari bagaimana faktor psikologi mempengaruhi performance fisik individu
memahami bagaimana partisipasi dalam olahraga dan latihan mempengaruhi perkembangan individu termasuk kesehatan dan kesejahteraan hidupnya
Di samping itu, mereka mengemukakan bahwa psikologi olahraga secara spesifik diarahkan untuk:
membantu para professional dalam membantu atlet bintang mencapai prestasi puncak
membantu anak-anak, penderita cacat dan orang tua untuk bisa hidup lebih bugar
meneliti faktor psikologis dalam kegiatan latihan dan
memanfaatkan kegiatan latihan sebagai alat terapi, misalnya untuk terapi depressi (Weinberg & Gould, 1995).
Sekalipun belum begitu jelas letak perbedaannya, Weiberg dan Gould (1995)telah berupaya untuk menjelaskan bahwa psikologi olahraga tidak sama dengan psikologi latihan. Namun dalam prakteknya biasanya memang terjadi saling mengisi, dan kaitan keduanya demikian eratnya sehingga menjadi sulit untuk dipisahkan. Tetapi Seraganian (1993) serta Willis dan Campbell (1992) secara lebih tegas mengemukakan bahwa secara tradisional penelitian dan praktik psikologi olahraga diarahkan pada hubungan psikofisiologis misalnya responsi somatik mempengaruhi kognisi, emosi dan performance. Sedangkan psikologi latihan diarahkan pada aspek kognitif, situasional dan psikofisiologis yang mempengaruhi perilaku pelakunya, bukan mengkaji performance olahraga seorang atlet. Adapun topik dalam psikologi latihan misalnya mencakup dampak aktivitas fisik terhadap emosi pelaku serta kecenderungan (disposisi) psikologi, alasan untuk ikut serta atau menghentikan kegiatan latihan olahraga, perubahan pribadi sebagai dampak perbaikan kondisi tubuh atas hasil latihan olahraga dan lain sebagainya (Anshel, 1997).
Jelaslah kini bahwa psikologi olahraga lebih diarahkan para kemampuan prestatif pelakunya yang bersifat kompetitif; artinya, pelaku olahraga, khususnya atlet, mengarahkan kegiatannya olahraganya untuk mencapai prestasi tertentu dalam berkompetisi, misalnya untuk menang. Sedangkan psikologi laithan lebih terarah pada upaya membahas masalah-masalah dampak aktivitas latihan olahraga terhadap kehidupan pribadi pelakunya. Dengan kata lain, psikologi olahraga lebih terarah pada aspek sosial dengan keberadaan lawan tanding, sedangkan psikologi latihan lebih terarah pada aspek individual dalam upaya memperbaiki kesejahteraan psikofisik pelakunya.
Sekalipun demikian, kedua bidang ini demikian sulit untuk dipisahkan, karena individu berada di dalam konteks sosial dan sosial terbentuk karena adanya individu-individu. Di samping itu kedua bidang ini melibatkan aspek psikofisik dengan aktivitas aktivitas yang serupa, dan mungkin hanya berbeda intensitasnya saja karena adanya faktor kompetisi dalam olahraga.
Sejarah Psikologi Olahraga di Indonesia
Jadi, di satu pihak seorang praktisi psikolog yang memiliki ijin praktik belum tentu memiliki cukup pengetahuan ilmu keolahragaan, di lain pihak, pakar keolahragaan tidak dibekali pendidikan khusus psikoterapi dan konseling. Akibatnya, sampai saat ini masih terjadi kerancuan akan siapa sesungguhnya yang berhak memberikan pelayanan sosial dalam bidang psikologi olahraga. Idealnya adalah seorang konsultan atau psikoterapis memperoleh pelatihan khusus dalam bidang keolahragaan; sehingga sebagai seorang praktisi ia tetap berada di atas landasan professinya dengan mengikuti panduan etika yang berlaku, dan di samping itu pengetahuan keolahragaannya juga cukup mendukung latar belakang pendidikan formalnya.
Dalam upaya mengatasi masalah ini IPO sebagai asosiasi psikologi olahraga nasional tengah berupaya menyusun ketentuan tugas dan tanggung jawab anggotanya. Di samping itu, IPO juga tengah berupaya menyusun kurikulum tambahan untuk program sertifikasi bagi para psikolog praktisi yang ingin memberikan pelayanan sosial dalam bidang psikologi olahraga. Kurikulum tersebut merupakan bentuk spesialisasi psikologi olahraga yang meliputi: 1) Prinsip psikologi olahraga, 2) Peningkatan performance dalam olahraga, 3) Psikologi olahraga terapan, 4) Psikologi senam.
Masalah lain yang juga kerapkali timbul dalam penanganan aspek psikologi olahraga adalah dalam menentukan klien utama. Sebagai contoh misalnya pengguna jasa psikolog dapat seorang atlet, pelatih, atau pengurus. Kepada siapa psikolog harus memberikan pelayanan utama jika terjadi kesenjangan misalnya antara atlet dan pengurus, padahal psikolog dipekerjakan oleh pengurus untuk menangani atlet, dan atlet pada saat tersebut adalah pengguna jasa psikologi. Di satu pihak psikolog perlu menjaga kerahasiaan atlet, di lain pihak pengurus mungkin mendesak psikolog untuk menjabarkan kepribadian atlet secara terbuka demi kepentingan organisasi. Sachs (1993) menawarkan berbagai kemungkinan seperti misalnya menerapkan perjanjian tertulis untuk memberikan keterangan; namun demikian, jika atlet mengetahui bahwa pribadinya akan dijadikan bahan pertimbangan organisasi, ia mungkin cenderung akan berperilaku defensif, sehingga upaya untuk memperoleh informasi tentang dirinya akan mengalami kegagalan. Karenanya, seorang psikolog harus dapat bertindak secara bijaksana dalam menangani masalah ini, demikian pula, hendaknya seorang pelatih yang kerapkali bertindak selaku konsultan bagi atletnya kerap kali harus mampu melakukan pertimbangan untuk menghadapi masalah yang serupa.

Atlet, Pelatih, & Lingkungan
Atlet, pelatih dan lingkungan merupakan tiga aspek yang berkaitan satu sama lain dalam membicarakan psikologi olahraga dan psikologi senam. Istilah atlet tidak terbatas pada individu yang berprofesi sebagai olahragawan, tetapi juga mencakup individu secara umum yang melakukan kegiatan olahraga. Pelatih harus dibedakan dari sekedar instruktur, karena pelatih tidak hanya mengajarkan atlet bagaimana melakukan gerakan-gerakan olahraga tertentu, tetapi juga mendidik atlet untuk memberikan respon yang tepat dalam bertingkah laku di dalam dan di luar gelanggang olahraga. Lingkungan tidak terbatas pada lingkungan fisik semata-mata tetapi juga lingkungan sosial masyarakat, termasuk di dalamnya lingkungan kehidupan tempat atlet tinggal.
Atlet, pelatih dan lingkungan adalah tiga aspek yang merupakan suatu kesatuan yang menentukan athletic performance. Istilah atlethic performance agak sulit untuk diterjemahkan karena merupakan suatu istilah spesifik yang tidak bisa disamakan artinya dengan misalnya perilaku atletik.

Atlet
Seorang atlet adalah individu yang memiliki keunikan tersendiri. Ia memiliki bakat tersendiri, pola perilaku dan kepribadian tersendiri serta latar belakang kehidupan yang mempengaruhi secara spesifik pada dirinya. Sekalipun dalam beberapa cabang olahraga atlet harus melakukannya secara berkelompok atau beregu, pertimbangan bahwa seorang atlet sebagai individu yang unik perlu tetap dijadikan landasan pemikiran. Karena, misalnya di dalam olahraga beregu, kemampuan adaptif individu untuk melakukan kerjasama kelompok sangat menentukan perannya kelak di dalam kelompoknya.
Adalah sesuatui hal yang mustahil untuk menyamaratakan kemampuan atlet satu dengan lainnya, karena setiap individu memiliki bakat masing-masing. Bakat yang dimiliki atlet secara individual ini lah yang sesungguhnya layak untuk memperoleh perhatian secara khusus agar ia dapat memanfaatkan potensi-potensinya yang ada secara maksimum.
Namun demikian, keunikan individu seorang atlet seringkali disalahartikan sebagai perilaku menyimpang (Anshel, 1997). Sebagai contoh petenis John McEnroe menggunakan perilaku marahnya untuk membangkitkan semangatnya. Namun bagi mereka yang tidak memahami hal ini menganggap McEnroe memiliki kecenderungan pemarah. Masalahnya adalah mungkin perilaku marahnya dapat mengganggu lawan tandingnya sehingga hal ini dirasakan sebagai sesuatu yang kurang sportif untuk menjatuhkan mental lawan tandingnya. Demikian pula Monica Seles sering ditegur karena lenguhannya yang keras pada saat memukul bola, namun sesungguhnya hal ini merupakan keunikan perilakunya, dan karena tidak adanya aturan khusus untuk melarang hal tersebut, sebenarnya memang Seles tidak melakukan pelanggaran apapun. Adalah juga keliru menganggap bahwa setiap atlet membutuhkan masukan dari pelatihnya pada saat menjelang pertandingan. Karena ada atlet-atlet yang lebih cendeung memilih untuk berada sendiri daripada ditemani oleh orang lain. Jadi, setiap atlet memiliki ciri khas masing-masing, dan tidak bisa dilakukan penyamarataan dalam melakukan pendekatan terhadap atlet. Hal-hal seperti inilah yang perlu difahami oleh para pembina dalam membina para atletnya. Karena justru keunikan merekalah yang membuat mereka mampu berprestasi puncak. Sedangkan mereka yang tergolong "normal" memang hanya memiliki prestasi normal-normal (biasa-biasa) saja.
 Pelatih
Pelatih, seperti telah disinggung di atas, bukan sekedar instruktur olahraga yang memberitahukan atlet cara-cara untuk melakukan gerakan tertentu dala olahraga. Pelatih juga merupakan tokoh panutan, guru, pembimbing, pendidik, pemimpin, bahkan tak jarang menjadi tokoh model bagi atletnya. Pelatih sendiri juga mungkin meniru gaya pelatih lain atau pelatih senior yang melatih dirinya. Ada pepatah asing yang mengatakan "monkey see, monkey do", artinya apa yang dilihat, itulah yang dikerjakan.

TUNA GRAHITA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang
Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional. Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan tersebut maka setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan. Seperti tertuang dalam UU No. 2 tahun 1989 pasal 5 bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Dengan demikian orang-orang yang menderita cacat atau kelainan juga mendapatkan perlindungan hak. Seperti tertuang pada pasal 8 ayat (1) UU No. 2 tahun 1989 disebutkan bahwa warga negara yang memiliki kelainan fisik dan atau mental berhak memperoleh Pendidikan Luar Biasa (PLB).Namun dalam kenyataan prosentase anak cacat yang mendapatkan layanan pendidikan jumlahnya amat sedikit. Serta pasal 5 ayat (2) juga disebutkan bahwa “Setiap warga yang memiliki kelainan fisik, mental, sosial, intelektual dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”.Dengan kata lain perkembangan manusia ada yang wajar atau normal dan ada pula yang perkembangannya terganggu (abnormal) yang akan berpengaruh terhadap mental dan jasmani. Sehingga dalam permasalahan pendidikan, tidak ada perbedaan antara anak yang normal perkembangan jasmani dan rohaninya, dengan anak yang mengalami kecacatan fisik, seperti anak yang mengalami kelemahan mental atau sering disebut Tunagrahita. Hal ini dikarenakan masih adanya hambatan pada pola pikir masyarakat kita yang mengabaikan potensi anak cacat. Pada umumnya masyarakat memandang kecacatan (disability) sebagai penghalang (handicap) untuk berbuat sesuatu. Telah banyak bukti bahwa orang cacat mampu melakukan sesuatu dengan berhasil. Pada hakikatnya kecacatan seseorang bukanlah merupakan penghalang untuk melakukan sesuatu.
Anak tunagrahita adalah anak yang mempunyai kemampuan intelektual dibawah rata-rata. Anak tunagrahita memiliki keterbatasan intelegensi, terutama yang bersifat abstrak seperti belajar dan berhitung, menulis dan membaca. Kemampuan belajarnya cenderung tanpa pengertian atau cenderung belajar dengan membeo. Disamping memiliki keterbatasan intelegensi, anak tunagrahita juga memiliki kesulitan dalam mengurus diri sendiri dalam masyarakat. Selain itu, juga memiliki keterbatasan dalam penguasaan bahasa. Oleh karena itu berdasarkan UU diatas setiap orang berhak atas pendidikan.

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang diatas maka dalam hal ini penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut.
1.      Bagaimana cara menangani anak tuna grahita?
2.      Upaya apa saja yang dilakukan pendidik dalam meningkatkan pembinaan penjas atau olahraga bagi anak tuna grahita?
1.3.   Tujuan atau Manfaat
2.      Tujuan
a.       Untuk mengetahui upaya pembelajaran pembinaan penjas bagi anak cacat tuna grahita
b.      Untuk mengetahui tingkat kesulitan pembelajaran penjas atau olahraga bagi penyandang cacat tuna grahita
c.       Untuk mengetahui cara pemberian pembelajaran bagi penyandang cacat tuna grahita.
3.      Manfaat
a.       Menjadi sebuah masukan pengetahuan bagi kami yang sedang belajar di jurusan penjaskes.
b.      Sebagia masukan yang penting khususnya bagi penulis sendiri dan bagi khalayak umum.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
BAB II
KAJIAN TEORI

2.1.   Pembinaan Olahraga
Pembinaan olahraga atau penjas telah diatur dalam UU No 3 tentang Keolahragaan Nasional dalam pasal 1ayat 8 yaitu : pembinaan olahraga adalah orang yang memiliki minat dan pengetahuan, kepemimpinan, kemampuan manajerial dan pendanaan yang didedikasikan untuk pembinaan dan pengembangan olahraga. Dari hal tersebut bahwa pembinaan oleh seorang guru bagi anak harus benar-benar didedikasikan sepenuhnya bagi perkembangan si anak, tak terkecuali dengan ALB.
Perbedaaan penanganan pembinaan anak yang normal dan yang ALB sangatlah berbeda dalam pemberian materi maupun pembelajaran olahraga. Misalkan bagi anak tuna grahita dalam pemberian pembinaan pembelajaran penjas atau olahraga perlu kesabaran yang tinggi dan perlu penanganan secara terpadu serta adanya sutu pendekatan.
2.2.    Anak Cacat Tuna Grahita
Keterbelakangan mental yang biasa dikenal dengan anak tuna grahita biasa dihubungkan dengan tingkat kecerdasan seseorang. Tunagrahita memiliki arti menjelaskan kondisi anak yang kecerdasannya jauh dibawah rata-rata dan ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan ketidak cakapan dalam interaksi sosial. Anak tunagrahita atau dikenal juga dengan istilah keterbelakangan mental karena keterbatasan kecerdasannya mengakibatkan dirinya sukar untuk mengikuti program pendidikan di sekolah biasa secara klasikal, oleh karena itu anak keterbelakangan mental membutuhkan layanan pendidikan secara khusus yakni disesuaikan dengan kemampuan anak tersebut. Tingkat kecerdasan secara umum bagi anak tuna grahita biasanya diukur lewat tes Intelegensi yang hasilnya disebut dengan IQ.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Karakteristik Pendidikan Bagi Anak Tuna Grahita
                        Anak tunagrahita adalah anak yang mempunyai kemampuan intelektual dibawah rata-rata. Anak tunagrahita memiliki keterbatasan intelegensi, terutama yang bersifat abstrak seperti belajar dan berhitung, menulis dan membaca. Kemampuan belajarnya cenderung tanpa pengertian atau cenderung belajar dengan membeo. Disamping memiliki keterbatasan intelegensi, anak tunagrahita juga memiliki kesulitan dalam mengurus diri sendiri dalam masyarakat. Selain itu, juga memiliki keterbatasan dalam penguasaan bahasa.
Keterbatasan lain yang dimiliki anak tunagrahita yaitu kurang mampu untuk mempertimbangkan sesuatu,kurang dapat merespon dan menangkap suatu materi. Sehingga kurikulum yang digunakan tunagrahita adalah kurikulum sekolah reguler (kurikulum nasional) yang dimodofikasi (diimprovisasi) sesuai dengan tahap perkembangan anak berkebutuhan khusus, dengan mempertimbangkan karakteristik (ciri-ciri) dan tingkat kecerdasannya. Modifikasi kurikulum pendidikan penjas adaptif dilakukan terhadap: alokasi waktu, isi/materi kurikulum, proses belajar-mengajar, sarana prasarana, lingkungan belajar, dan pengelolaan kelas. Dengan ini, maka diharapkan mereka akan mendapatkan sejumlah pengalaman baru yang kelak dapat dikembangkan anak guna melengkapi bekal hidup. Mengingat kondisi peserta didik yang memiliki keterbatasan intelegensi dan juga keterbatasan lainnya, dan juga pentingnya pendidikan. Maka dari hal tersebut bahwa pentingnya pendidikan untuk anak tuna grahita termasuk  pendidikan motorik anak dalam olahraga, Serta yang perlu di perhatikan adalah karakteristiknya (Modul Depdiknas: 2007), seperti:
a.       Dalam belajar keterampilan membaca, keterampilan motorik, keterampilan lainnya adalah sama seperti anak normal pada umumnya.
b.      Perbedaan tuna grahita dalam mempelajari keterampilan terletak pada karakteristik belajarnya.
c.       Perbedaaan karakteristik belajar pada anak tuna grahita ada dalam tiga daerah yaitu;
1.      Tingkat kemahirannya dalam keterampilan tersebut.
2.      Generalisasi dan transfer keterampilan yang baru diperoleh.
3.      Perhatiannya terhadap tugas..
Adapun Karakteristik atau ciri-ciri anak tunagrahita dapat dilihat dari segi,
1.Fisik (Penampilan)
Ø  Hampir sama dengan anak normal
Ø  Kematangan motorik lambat
Ø  Koordinasi gerak kurang
Ø  Anak tunagrahita berat dapat kelihatan
2.Intelektual
Ø  Sulit mempelajari hal-hal akademik.
Ø  Anak tunagrahita ringan, kemampuan belajarnya paling tinggi setaraf anak normal usia 12 tahun dengan IQ antara 50 – 70.
Ø  Anak tunagrahita sedang kemampuan belajarnya paling tinggi setaraf anak normal usia 7, 8 tahun IQ antara 30 – 50
Ø  Anak tunagrahita berat kemampuan belajarnya setaraf anak normal usia 3 – 4 tahun, dengan IQ 30 ke bawah.
3.Sosial dan Emosi
Ø  Bergaul dengan anak yang lebih muda.
Ø  Suka menyendiri
Ø  Mudah dipengaruhi
Ø  Kurang dinamis
Ø  Kurang pertimbangan/kontrol diri
Ø  Kurang konsentrasi
Ø  Mudah dipengaruhi
Ø  Tidak dapat memimpin dirinya maupun orang lain.

3.2.            Pendekatan Pembelajaran Penjas Adaptip Bagi Anak ALB
Penjas adaptif berperan penting dalam keberhasilan anak mengikuti proses pendidikan. Program Penjas adaptif memiliki cirri yang berbeda dengan pendidikan jasmani biasanya yaitu programnya disesuaikan dengan kelainan anak, programnya mengarah kepada perbaikan dan koreksi kelainan, dan programnya mengarah kepada pengembangan dan peningkatan jasmani individu siswa. Supaya program pengajaran atau pembinaandapat diikuti bagi anak ALB (tuna grahita)  maka perlu adanya modifikasi dalam setiap aspek pembelajaran. Adapun modifikasi program pembelajarannya secara umum adalah sebagai berikut:
a.       Kurikulumnya baik secara perubahan total maupun perubahan sebagian dari kurikulum.
b.      Strategi belajarnya dapat dig anti atau di sesuaikan berdasarkan sutu kondisi dan sikon yang memungkinkan.
c.       Medianya (materi dan alat) yang digunakan di sesuaikan bagi anak tuna grahita.
d.      Pengaturan kelasnya, disini sangat penting karena perlunya suatu teknik mengajar yang sesuai dengan anak tuna grahita atau anak ALB lainnya
e.       Lingkungan atau sarana fisik yang dapat menunjang bagi pemberian suatu pembinaan penjas.
Adapun pendekatan  pengajaran bagi anak tuna grahita atau ALB lainya yaitu:
a.       Pengajaran klasikal diberikan kepada anak tuna grahita atau ALB lainnya yang memiliki tingkat akademis normal dan sama dalam satu kelas, sehingga kegiatan dan materinya sama dalam satu kelas.
b.      Pengajaran individual adalah pengajaran yang diberikan orang-perorang dari anak ALB.
c.       Individualisasi pengajarannya adalah pendekatan dalam kelas akan tetapi setiap anak memiliki sutu program sesuai dengan tingkat pencapaian dalam belajar.
d.   Memberikan pembelajaran dengan metode inklusi.
3.3.            Pembelajaran Penjas Atau Olahraga Bagi Anak Tuna Grahita
Dalam penyelenggaraan program pendidikan jasmani hendaknya mencerminkan karakteristik program pendidikan jasmani itu sendiri, yaitu “ Developentally Appropriate Practice” (DAP). Artinya bahwa tugas ajar yang disampaikan harus memerhatikan perubahan kemampuan atau kondisi anak, dan dapat membantu mendorong kearah perubahan tersebut. Dengan demikian tugas ajar tersebut harus sesuai dengan tingkat perkembangan dan tingkat kematangan anak didik yang diajarnya. Perkembangan atau kematangan yang dimaksud mencakup fisik, psikis maupun keterampilannya.
Dengan pendidikan jasmani atau olahraga yang diadaptasi dan dimodifikasi sesuai kebutuhan jenis kelainan dan tingkat kemampuan albmerupakan salah satu factor yang sangat menentukan dalam keberhasilan pendidikan olahraga atau penjas bagi anak yang berkelainan termasuk tuna grahita.  pendidikan jasmani adaftif merukpakan suatu system penyampaian layanan yang bersifat menyeluruh (komprehensif) dan dirancang untuk mengetahui, menemukan pemecahan masalah bagi anak ALB. Adapun cirri dari program penjas adaptif antara lain:
a.       program penjas addaptif disesuaikan dengan jenis dan karakteristik kelainan siswa.
b.      Program pengajaran penjas adaptif harus dapat membantu dan mengkoreksi kelainan yang disandang oleh siswa.
c.       Program pengajaran penjas adaptif harus dapat mengembangkan dan meningkatkan kemampuan jasmani individu.
Untuk pembinaan anak tuna grahita dalam penjas atau olahraga dapat dilihat dari hal di atas serta adanya suatu perombakan dalam program pembelajaran. Anak tuna grahita biasanya kurang cepat dalam menerima atau merespon dari apa yang dipelajarinya atau dilakukannya.

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan
Pada dasaarnya anak tuna grahita itu sama dengan anak yang normal dalam segi motoriknya akan tetapi anak  tuna grahita atau disebut keterbelakangan mental memiliki kelambatan dalam belajar. Program penjas adaptif sangatlah membantu bagi anak tuna grahita dengan pengajaran yang tepat maka pendidikan olahraga akan mengenai sasarannya. Modifikasi kurikulum pendidikan penjas adaptif dilakukan terhadap: alokasi waktu, isi/materi kurikulum, proses belajar-mengajar, sarana prasarana, lingkungan belajar, dan pengelolaan kelas.
4.2. Saran
Anak tuna grahita bukan momok yang harus dikucilkan dalam pembelajaran penjas disekolah maupun temannya dan masyarakat bahkan mereka harus mendapatkan perhatian yang lebih terkhusus untuk mendapatkan pendidikan yang layak seperti halnya anak yang normal lainnya.
Sehingga diperlukan lembaga khusus yang menangani anak tuna laras. Peserta didik yang menyandang kelainan demikian juga memperoleh pendidikan yang layak, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang dalam hal ini menyatakan dengan singkat dan jelas bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran” yang ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa “Warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.

DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. 2007. Diklat pembekalan guru kelas/ agama SD mata pelajaran penjas. Jawa barat
http//irfandedikpurnomo.files.wordpress.com/.../anak-tunagrahita-dan-karakteristiknya.doc
http://yuswan62.wordpress.com